Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Secret in Madrid

Enam hari lima malam, rasanya tak tahan saya berlama-lama di Madrid. Setiap 21 detik berlalu, selalu ada saja gadis spanyol yang hilir mudik di kawasan Grand Avia, Madrid. Hidung mancung, kaki melenggang panjang, dan body aduhai. Ada banyak secret in Madrid sesungguhnya. Hahha. Tapi maaf. Saya gak akan cerita lebih intim soal Spanyol, perempuan, dan body-nya. Saya juga sudah izin istri untuk bisa berfoto berdua dengan gambar yang anda lihat. Saya lupa namanya. Tapi yang saya ingat, mbak keturunan spanyol ini baik, tidak sombong, dan dengan senang diajak foto.. Hehhe. PERJALAN SUDAH DIMULAI Satu hal, tak ada dalam niat dan pikir saya saat pindah ke lembaga baru untuk terbang ke eropa, pun belahan dunia lainnya. Eropa, sesuatu yang sangat jauh dari nalar pikir saya. Bahkan saya ndak berani menghayal untuk menginjak kaki di tanah eropa. Maklum, anak Bekasi yang sampe sekarang pun ngomong bahasa inggris pasti diketawain. Mungkin, kalaupun raziq gedean dikit bakal malu punya abi

Keajaiban Satu Malam

Petjjaah..., usai Takbiratul ihram sesak rasanya. Tersengguk-sengguk membaca Al-Fatihah. Padahal masih rakaat pertama. Air Mata pun ndak sengaja mengalir liar di pipi. Mungkin, situasi ini lebur usai sempat tertahan pagi tadi saat seorang manusia kecil keluar dari rahim bundanya. Licin, bermandikan darah dengan ikatan ari-ari yang belum terputus. Bulu kuduk berdiri saat muncul kepala pada tubuh seorang Ibu. Dua kali sudah saya menyaksikan situasi seperti ini. Pertemuan antara meringisnya seorang bunda berjam-jam yang menggadaikan nyawanya, dengan daya makhluk kecil yang ingin keluar dari rumah rahimnya dan melihat dunia. Tentu dari tiga kegelapan yang dilalui. Layaknya skenario Allah yang diceritakan dalam Al-Quran surat Az-Zumar ayat 6. 20 Jam bertahan Pembukaan Satu 08.28 WIB kami tiba di rumah sakit, paling tidak setelah dua kali si bunda merasakan aliran air keluar dari tubuhnya dan menetes di lantai. Usai shubuh dan pukul tujuh. Selasa, 8 Agustus 2017 saat itu. 

Segala Sesuatu Ada Saatnya

Doa adalah, bagian terpasrah dalam aktivitas kita. Susunlah kata-kata manis nan merayu, melebihi kau minta naik gaji pada bosmu. Senyum genit si Bunda pagi itu masih terngiang. Senyumnya menggetarkan hati. Matanya mengintip penuh makna. Benar saja, garis dua pada alat penguji kehamilan menjadi komunikasi hening kami saat itu. Ahh Doa kami dikabulkanNya. Berencana sajalah, pasrahkan doa pada setiap sudut ibadah. Dua kunci itu yang kami pegang saat Raziq usai masa MPASInya. Lepas dua tahun sudah usia si abang. Maka tiba saat hak atas air susu bunda bergeser pada adiknya. Niat kami membathin untuk menambah keturunan. Berangsur, membesarnya raziq yang terus tumbuh. Riangan dan canda Raziq semakin dewasa. Jadilah Abi punya teman baru untuk berdua. Mengintip tante kasir nan lucu di bengkel dekat rumah atau kakak cina cantik penjual nasi uduk minggu pagi,, pun mengintip manja para calon Ummi di pengajian rabu rabbanians,. hehhe. Maaf, bagian ini hanya ilusi. Konteks lain, Bunda p

Habiskan butir Nasi Terkahirmu, Nak

"Habiskan butir nasi terakhirmu, nak."  25 tahun lalu nenek selalu ingatkan ini tiap kali ke Jakarta dan menginap dirumah. Dengan bahasa minangnya yang fasih, dan suapan nasi dari tangannya yang renta kepada saya. Nenek tua kurus, berkain dikepala. Namun rasa sayangnya begitu tulus, seraya rasa cintanya pada cucu. Kata Umi, Etek dan Dusanak semua, saya satu diantara belasan cucunya yang paling disayang. Hehhe. Namun jika anda meminta saya menggambarkan wajah nenek, memori yang lemah ini tentu tak ingat. Maaf. Pembelaan saya mungkin karna nenek meninggal saat saya usia 5 tahun. Tapi satu pesan nenek tersisa yang melekat kuat pada alam bawah sadar. "Habiskan butir nasi terakhirmu, Nak. Kalau kau ndak makan, menangislah nasi itu. Kasihan dia ditinggal sendirian". Sepanjang tahun semasa kecil saya kadang bertanya dalam hati. Apa makna nenek selalu mengingatkan demikian. Warisan pesan "sepele" yang ternyata juga dilakukan umi. Tak pernah tertin

Berhentilah Menuntut, Perbanyaklah Kontribusi

Jelang 10 hari undur diri dari lembaga, saya sengaja membuka meja panjang untuk urung rembug bersama tim. Diskusi soal startegi departemen kami selama 2017. Bahasanya penguatan. Agar semua jelas, semua paham, semua nyaman. Bersyukur, 15 orang berkumpul, 1 diantaranya sedang sakit. Plus minus 13 slide saya paparkan. Pointnya adalah layanan sedekat langkah dan engagement sedekat hati. Sekedar informasi, kami adalah sales Zakat dan Sedekah level nasional dan international. Maka dua strategi kunci itu yang kami tanam. Seakan rekan-rekan saat itu tau jika saya akan angkat kaki, dan begitu memang biasanya. Sebelum ada statement resmi atas isu lembaga, maka dinding lebih dulu bicara, hhhehe. Maka kemudian saya buka sesi diskusi. Beberapa detik hening, detik berikutnya mas Eko (Manager Area Jakarta Barat-Tanggerang) angkat bicara. Pertanyaan yang lembut dan menukik akhirnya terwakili oleh beliau. Pertanyaan yang mungkin melekat pada setiap kepala saat itu. Apakah benar soal

Saya Izin Pamit

Sesak tangis masih terngiang di kenangan. Saat pertama kali izin pamit kepada umi untuk kuliah di Lampung dulu. Gimana enggak, setelah 18 tahun bersama,, akhirnya saya dan umi terpisah. Saya yang memang anak umi sejak dulu. Makanya, pekikan tangis umi lepas saat saya beranjak pergi memisah jarak ribuan kilo (meski cuma 40 menit naik pesawat sih), hehhe. Hari ini, saya menuliskan diatas langit merak dan Bakauheni. Jadi ingat sewaktu 2.372 hari yang lalu. Saat saya bergerak menuju Jakarta lepas sehari setelah wisuda. Sehari setelahnya, saya sematkan pengabdian kepada lembaga besar bernama Dompet Dhuafa. Masuk sebagai anak bawang tanpa pengalaman sebagai Management Trainee, bersama 2 rekan UI dan 1 rekan Undip. Singkat cerita, terlalu banyak syahdu yang saya rasakan di lembaga ini. Jika boleh digores kulit ini, maka darah hijau yang tampak dan muncul. Hijaunya bukan yang lain, tapi hijau muda milik Dompet Dhuafa. Saya bertemu keluarga disini, bukan rekan kerja. Saya be