Langsung ke konten utama

UMI.

"Boy, bisa kesini sebentar dan bawa tas kamu", panggil wali kelas SD ku sesaat setelah jam 9 pagi. Disamping Ibu Wali kelas, kulihat tante tiwi. Adik ipar ayah dengan murungnya.

Boy, kita pulang ya. Ada uni (kakakku satu2nya) sudah di mobil. Pikiran kosong di bocah usia 8 tahun saat itu. Durasi 35 menit dari sekolah dasarku menuju rumah. Serangkaian bendera kuning terpasang di tiang2 listrik. Lagi, pikiran kosong bocah 8 tahun.

Ada tenda biru terpampang depan rumah dengan kakek dan keluarga besar duduk tepat dibawah tenda. Sayangnya, lagi, pikiran kosong bocah 8 tahun.

Sampai akhirnya, aku dan uni berlari menuju sosok terbujur diatas tempat tidur yang biasa kami tiduri. Tanpa sadar, teriakan bocah 8 & 11 tahun pecaah.

Innalillahi wainnaillaihi rojiuuun. Telah berpulang Ayah kami. November 1995 saat itu. 5 hari jelang Umi milad ke-45.

Hadiah dan ujian terindah yang ditaruh diatas beban seorang UMI, PNS pemda DKI dengan ijazah SPG nya (setara SMA). Jangan berekspetasi atas penghasilan umi. Kita tau sama tau bagaimana PNS (doeloe) berkeluh atas gajinya.

Sebulan kurang akhirnya kulihat umi selalu bersimpuh didalam kamar. Lemas, sedih, tanpa gairah. Mukenanya jarang dibuka, selalu berdoa, mengaji sembari menunggu azan bergiliran memanggil. Semangatnya mengejar bus kota seperti biasanya tak sempat dia perlihatkan pada masa itu.

Kesabaran seorang Ayah yang mungkin sulit umi lepas dari benaknya.

Hari berganti, tahun berpaling. Tapi kami tak pernah lupa. Bagaimana umi selalu berjuang diatas kakinya untuk besarkan bocah 8 & 11 tahun. Bangun jam 4 pagi, disiapkan masakan padang khasnya. Usai, umi bangunkan kami, mandikan kami, pakaikan kami, dan dilepasnya kami ke sekolah. Beruntung, ada rekan sekolah dekat rumah yang biasa diantarkan oleh ayahnya dengan mobil Zebra putih yang ngehits saat itu. Saat semua dirasa aman, mulailah umi menyiapkan diri ke kantor. Kota, museum seni rupa dan keramik. Kantor di seberang museum fatahillah yang terkenal itu. Titik awal dari bekasi, paling tidak perjalanan 2 jam yang cukup jauh.

Semasa ayah hidup, kami sudah "dipaksa" mandiri. Wajar, hidup diantara kesederhanaan umi yg PNS. Kadang, ditengah letihnya umi pulang jelang magrib, aku menyapa dari balik selang. Tugas regulerku menyiram kembang dan mencuci piring. Lain hal dengan uni yang mengepel rumah dan sisipan tugas lain.

Keluarga kecil kami akhirnya semakin mengecil saat uni diterima kuliah di Padjajaran Bandung. Bahkan, akhirnya umi tinggal sendiri saat diriku pun diterima SPMB (dulu UMPTN) di kampus negeri lampung.

Jika ingat, matanya berkaca air deras saat melepasku ke Lampung untuk kali pertama. Bisiknya, akhirnya umi tuntaskan kalian untuk kuliah. Allah beri rezki, kalian dimasukin kampus2 negeri.

Wajar, hampir setiap hari umi bilang "bagi umi baju baru gak penting, yang penting itu kalian sekolah".

Kembali wajar, saat umi dan adik kakaknya hidup dari rumah panggung di Bukittinggi, nenek yang buta huruf dan kakek yang PNS kota. Hampir sering pula cerita2 makan sepiring berlima, jalan ke sekolah 5 Kilometer dengan berjalan kaki, menangisi lebaran yang tak ada baju baru, hingga diejek teman2 karna sepatu kumal dan bolong.

Tapi pesan dan nilai2 kakek begitu kuat kepada anak2nya. Jangan pernah meminta. Saat kita tak punya harta, kita punya akal. "Hidup beraka, mati beriman".

Sekarang, usia Umi 66 Tahun. Nenek 3 cucu laki2 tetap dalam semangatnya. Masakan santan khas minang, bagi kami belum ada tandingannya. Rumah makan sederhana sekalipun. Gulai kambing olahannya yang selalu menghipnotis keluarga besar untuk datang kerumah pada saat lebaran.

Kerutan tangganya yang juga tak pernah terhapus akan perjuangannya mengajr bus dan naik turun kereta dulu. Membesarkan 2 anak yatim, dari ilmu yang seadanya. Tanpa ilmu parenting kekinian dan seminar orang tua apapun.

Olesannya dari hati, maka kami tumbuh dengan bersyukur hari ini.

18 November kemarin, simbol resmi 66 tahun usia umi. Meski, kata Ustadz umi "ndak ada itu ucapan milad dan tiup2 lilin". Sontak anak dan menantunya tanpa ucapan resmi di tahun ini,, hihhii.

Pasti, doa umi selalu bahagia, sehat, dan terus menginspirasi tak lepas dari doa2 kami.

Selamat Milad UMI-ku yang Hebat !!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Time to Change

Fokus pada tujuan. Tujuannya terfokus pada manfaat. Manfaatnya tertuju fokus pada Ummat. Mungkin itu yang ada dalam kepala seorang Anies. Sebagai salah satu aktivis di jamannya. Anies bukan sendirian. Banyak sejawat yang sampe hari ini juga masih terus bergerak. Disaat beberapa rekan sejawat terus mengarus di jalur politik, Anies sibuk mengisi diri. Sekolah sampai Luar Negeri. Forum sana sini diikuti. Seminar lokal dan internasional dilakoni. Peserta aktif dan hadir dalam pembicara substantif.  Sebagai satu diantara dari banyak aktivis di jamannya, Anies memang agak aneh dan beda. Saat yang lain mengisi perjuangan di kursi² legislasi, Anies mengisi ruang grassroot mendirikan Indonesia mengajar. Dipaksa anak² muda menyaksikan anak indonesia yang tidak setara terhadap haknya. Agar mereka paham apa masalahnya, bukan melulu masalahnya apa. Salah seorang senior selalu berpesan, memahami masalah adalah setengah jalan untuk menyelesaikan masalah. Anies melakukan itu. Saat sebagian lainnya rek

Rumah Yang Membiru

Nampaknya belum hilang, memori saya beranjak dari kantor buncit awal Februari 2017 silam. Kampus hijau yang membuat saya "terlahir" untuk meneruskan perjuangan, sebagai seorang hamba. 7 tahun yang fantastis dalam fase kehidupan. =============================== Tok tok tok... "Mas Boy, ini laptop dan seluler beserta simcardnya ya. Login dan password sudah saya tuliskan di kertas kecil", ujar Human Resources (HR) Officer Yayasan Sayangi Tunas Cilik (sekarang Save The Children Indonesia). 7 Maret 2017. Satu bulan persis setelah meninggalkan rumah hijau. Setelah mbak HR pergi, saya membatin dalam hati. Keren sekali lembaga ini. Ini adalah poin pertama yang harus saya catat tentang pengelolaan Organisasi international. Cara sederhana lembaga memberi penghargaan kepada staf-nya. Bathin saya kemudian liar, nampaknya 3 tahun disini cukup. Dan saya catat satu per satu pelajaran baiknya sebelum nanti "pulang". 6 bulan kemudian saya tiba di Madrid, Spanyol. Padahal b

Gelanggang Ketenangan Duka Mas Helmi

Seusai membawa ambulans sendiri dari rumah sakit ke rumah duka untuk hantar Almarhum adik kandungnya, mas Helmi menyampaikan ada indikasi malpalraktek di RS daerah Jakarta, tempat adiknya dirawat selama 12 hari. Lembaga Bantuan Hukum Dompet Dhuafa sudah dikontak dan akan bantu advokasi kasus adiknya mas Helmi ini. Terlepas dari itu, Rumah duka ada di gang kecil. Ayahnya yg seorang pedagang buku dan madu sampaikan terima kasih kepada DD. Persepsi muncul saat saya diskusi kecil dengan ayahnya. Dugaan saya, banyak nilai2 filosofis yg ditanamkan kepada anak2nya. Kembali ke Mas Helmi, anak pertama dari empat bersaudara. Baru saja lulus tes magister di Universitas Indonesia. Beliau masuk ke Dompet Dhuafa sebagai Karyawan Project, Asisten Manager Kantor DD Cabang Pembantu Jakarta Utara dan Jakarta Pusat enam bulan lalu. Pagi ini membuat saya tertegun. Diantara huru hara harapan kenaikan gaji dikantor, ada syukur mendalam  bertemu orang seperti mas helmi. Sosok yg penuh kecukupan dan rasa s