Sore jelang buka puasa hari ketiga, duduk berhadapan dengan Umi di meja makan. Berdua saja. Tanpa siapa-siapa. Umi tetap memilih air putih hangat, aku teh manis hangat. Tambahan sajian kurma sukari bawaan dari mekkah kemarin. Tak ada yang mewah jika dengan Umi. Kata Umi sih sederhana, tapi bagiku tetap saja irit menuju pelit. :D
Bukan simbol kemewahan makanan, tapi ini soal kemewahan rasa. Anak lelaki kesayangannya, dengan Umi yang dulu perkasa. Duduk berhadapan. Berdua saja.
Masih jelang buka puasa, kami diskusi apa saja. Menjadi sahabat curhatnya, tentang apa saja dengan sepekan kemarin. Kadang, mendebat sedikit soal Jokowi dan Prabowo, atau soal Ahmad Saikhu dan Ridwan Kamil, hahha.
Hingga pada waktunya, azan berkumandan. Berebut kurma menjadi pembuka. Ndak sengaja, diantaranya kuberhenti pada pandangan kulit daging jatuh pada lengannya. Pandangan kedua jatuh pada kulit lehernya yang melambai. Masya Allah, umi tak muda lagi, tak perkasa lagi seperti dulu. Dan kemudian menjadi wajar, saat sudah menjadi nenek dari empat cucu.
Jadi ingat, saat Umi selalu berhasil mengejar patas dua, tujuan Bekasi - Kota. Umi yang selalu berhasil menakuti pencopet saat mengincar sebuah dompet, dan Umi yang selalu bangun pagi menyiapkan segalanya untuk anak gadis dan bocah lelakinya.
Semu(a) semu. Umi tak muda lagi.
NASEHAT ANAK LELAKINYA
Pusaran Doa sekarang bertumpunya padanya, agar sehat selalu, bahagia tanpa lalu. Karna, diantara curhatan pekanan, kadang ada saja keluhan soal ini itu. Sebagai anak lelaki kesayangan hanya bisa mengingatkan dan berkata padanya. Umi, "Kadang kita lupa bagaimana cara bersyukur, padahal itu tahapan paling awal untuk menambah kenikmatan". Jadi, tetaplah bersyukur Allah masih beri kesehatan dan anak-anak & mantu yang akur.
Pusaran Doa sekarang bertumpunya padanya, agar sehat selalu, bahagia tanpa lalu. Karna, diantara curhatan pekanan, kadang ada saja keluhan soal ini itu. Sebagai anak lelaki kesayangan hanya bisa mengingatkan dan berkata padanya. Umi, "Kadang kita lupa bagaimana cara bersyukur, padahal itu tahapan paling awal untuk menambah kenikmatan". Jadi, tetaplah bersyukur Allah masih beri kesehatan dan anak-anak & mantu yang akur.
NASEHAT UNTUK BELAHAN JIWA
Jadi ingat saat bicara dengan Bunda di hari berikutnya. Memanfaatkan waktu berdua dikala dua lelaki kecil tidur tanpa suara.
Jadi ingat saat bicara dengan Bunda di hari berikutnya. Memanfaatkan waktu berdua dikala dua lelaki kecil tidur tanpa suara.
Bicara semua, termasuk atas kejadian-kejadian dan cobaan di kantornya. Melemah suaranya, curhatnya kuat. Giliran berganti, saatnya aku menasehati. Sederhana saja di bagian akhir cerita. Berdoa saja bun. Bagaimana pun, "Doa adalah bagian terpasrah dalam aktivitas kita. Susunlah kata-kata manis nan merayu, melebihi kau minta naik gaji pada bosmu". Bunda tersenyum sipu.
Meski, dibagian kemudianya tetap kutitip pesan langitan. "Berdoalah apa saja. Tapi ingatlah. Jika doamu lebih banyak meminta persoalan dunia, sadarlah bahwa akhirat lebih lama durasinya".
Ntah darimana kalimat itu muncul. Tetiba saja, melintas di pikiran. Merenung, menggugah hikmah. Kadang, bahkan kita sampai lupa berapa persen pembagian doa kita tentang akhirat. Semua tentang dunia: Rejeki halal nan melimpah, cinta abadi dengan pasangan, mimpi jalan-jalan keluar negeri, hingga hutang lunas secepatnya. Di bagian akhir sedikit saja doa akan akhirat. Meminta mati dalam keadaan khusnul, atau bahkan itupun lupa di mention dalam doa.
Kembali ke bunda yang ceritanya berlanjut. Curhatnya semakin menjadi. Aku bilang sabar, apapun itu sabarlah bun. Bagaimanapun, "Sabar adalah karunia paling baik dan paling luas".
Sabar disebutkan tiga puluh satu kali dalam Al-Quran. Selalu berdampingan dengan Syukur. Sebanyak itu disebut, bertanda ada yang spesial dengan Sabar dan Syukur. Maka kemudian kembali melintas kalimat di paragraf sebelumnya tadi.
Curhatnya belum koma, aku mendengar kemudian sembari memeluknya. Kuberitahu rumus sederhana padanya: "Jika niat kita baik, maka ada dua hal yang hampir pasti terjadi. Prosesnya dilancarkan, hasilnya dibahagiakan"
Dunia; at the end memang begitu kejam, jika kita tak pandai kelolanya. Dunia mampu mendominasi pikiran tentang akhirat kita. Kadang sempat berpikir, "Dunia ini terlalu semu untuk kita nikmati habis-habisan".
Semu(a) Semu.
Kalo kata Ustadz di trans 7, "Hari ini kita diatas tanah, besok tanah diatas kita".
Ah, selalu ingat dosa yang meluber kalau menyebut kata-kata tadi.
Dalam perenungan di bawah sinaran Mekkah kemarin. Tetiba berpikir: cinta dengan istri, cinta dengan anak, mobil, rumah, uang di rekening, semuanya bisa lenyap seketika Jika Allah mau. Layaknya Allah merubah nasib Abu Hakam yang ahli hukum tata negara di masanya, menjadi lemah tak berdaya dengan sebutan Abu Jahal. Karna memang apa yang kita genggam tentang dunia, semua semu.
Maka, mari saling mengingatkan;
Jika kau punya waktu, bagilah sedikit untuk akhiratmu.
Jika kau punya harta, tabung seperdelapan untuk akhiratmu.
Jika kita punya doa, jangan kau penuhi doamu untuk nafsu duniamu.
Jika kau punya segalanya, dan tak sedikitpun kau ingat akan akhiratmu, lekaslah sadar teman. Ada masa yang harus kita akhiri. Ada Tuhan yang harus kita sembah.
Sekali lagi, Semua Semu. Karna Allah-lah yang abadi
Komentar
Posting Komentar