Petjjaah..., usai Takbiratul ihram sesak rasanya. Tersengguk-sengguk membaca Al-Fatihah. Padahal masih rakaat pertama. Air Mata pun ndak sengaja mengalir liar di pipi.
Mungkin, situasi ini lebur usai sempat tertahan pagi tadi saat seorang manusia kecil keluar dari rahim bundanya. Licin, bermandikan darah dengan ikatan ari-ari yang belum terputus. Bulu kuduk berdiri saat muncul kepala pada tubuh seorang Ibu.
Dua kali sudah saya menyaksikan situasi seperti ini. Pertemuan antara meringisnya seorang bunda berjam-jam yang menggadaikan nyawanya, dengan daya makhluk kecil yang ingin keluar dari rumah rahimnya dan melihat dunia. Tentu dari tiga kegelapan yang dilalui. Layaknya skenario Allah yang diceritakan dalam Al-Quran surat Az-Zumar ayat 6.
20 Jam bertahan Pembukaan Satu
08.28 WIB kami tiba di rumah sakit, paling tidak setelah dua kali si bunda merasakan aliran air keluar dari tubuhnya dan menetes di lantai. Usai shubuh dan pukul tujuh. Selasa, 8 Agustus 2017 saat itu.
Ekspetasi "mudah" muncul dalam benak kami. Wajar, saat si abang (anak pertama kami) hanya butuh waktu 5 jam kurang dalam prosesi persalinannya tiga tahun lalu.
Hitungan kelahiran baby menurut dokter yang tanggal 15 Agustus, rupanya maju satu minggu. Ritual ngepel jongkok dan jalan pagi akhirnya lalai bunda lakukan.
Cek dan ricek. Standar penangan rumah sakit dilakukan untuk menguji ketuban pecah. Benar saja. Kertas, penguji air ketuban memberi reaksi benar adanya. Benar jika air keluar tadi pagi dari tubuh si bunda adalah air ketuban. Observasi awal, pembukaan 1--done.
Belum ada reaksi dari si bunda dan dalam perutnya. Bahkan sesekali ujar ingin pulang karna tak betah di Rumah Sakit. Waktu berjalan, air ketuban masih mengalir lembut. Dzuhur, masih belum ada reaksi. Ashar, kondisi sama dengan sebelumnya. Bahkan teriakan Magrib juga tak tampak perubahan berarti dari situasi perut Bunda.
Kami Pasrah
Jam 9 malam dokter kandungan (pengganti) datang. Dilalahnya, dokter yang biasa menangani si bunda sedang ke makassar untuk durasi 2 hari. Dokter kandungan pengganti beraksi. Memeriksa, mendeteksi dan memutuskan. Caesar, keputusan dokter keluar saat pembukaan satu belum bergerak hingga malam. Kami mengikut, meski dalam hati tetap berbisik untuk persalinan normal.
Sesaat dokter pergi, saya mencuri diskusi dengan si suster. Suster jaga malam relatif cukup hangat. Mereka merekomendasikan melihat perkembangan si Bunda hingga pukul 01.00 wib dini hari. Jika tidak ada perubahan, maka tindakan caesar tak terelakan. Tapi, membuat kesepakatan untuk puasa sejak pukul 11 wib malam tetap dilakukan. Satu syarat untuk menyambut operasi caesar.
Tak sengaja tidur 50 menit, saya tersentak jam 01.30 wib saat itu. Tidak ada perubahan pada tahapan pembukaan, saya menandatangani kesepakatan bius setengah badan dan operasi caesar si bunda. Diantara 5 pasien lainnya, kami minta yang pertama untuk operasi. Kick off operasi direncanakan pkl. 06.45 wib. 30 menit sebelumnya dipastikan sudah masuk ruang operasi.
Kami pasrah, lemas. 2 detik saling memandang diantara saya dan bunda. Kami sama-sama tahu betul apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Maka, proses persalinan tak jadi penting saat malam genting. Ingin bayi sehat, cukup.
Setiap jam, saya minta betul kepada suster untuk memeriksa detak jantung si baby, entah apa nama alatnya. Setiap alat ditempel ke perut si bunda dan berdentang suara jantung, hati kami cukup tenang.
Sama sekali bunda tak tidur malam itu. Saya berusaha sekuat tenaga ada disamping. Selang beberapa menit, saya minta angkunya Raziq dan adiknya--Azi masuk bergantian. Hingga pukul 02.30 wib dini hari, kontraksi alami dimulai.
Setiap 5 menit, bunda merasakan mulas perutnya. Jam 4 pagi, mulas si bunda meningkat. Rintihan bunda membuat saya ingin mengambil rasa sakitnya. Tak tega.
Kami pasrah. Persalinan apapun harus kami lewati. Sekali lagi, yang penting bayi sehat. Tegang saya meningkat setiap tambahan menitnya. Dokter baru kenal, rumah sakit yang juga baru dua bulan lalu kami survey, kami minim referensi saat itu. Alhasil tegang menjadi.
Pukul 5 kurang saya izin ke basement. Air wudhu yang mendingin menambah hikmat shubuh tegang saat itu. Jam setengah 6 pagi tetiba bunda mengadu, "bi, kayanya aku pup deh." sontak saya jembatani aduan istri kepada suster.
Selang beberapa menit suster mengecek, agak seru memanggil rekannya. Suster jaga setiap shift memang selalu ada dua. Saat periksa bersama, saya paksa si suster untuk menginfokan apa yang terjadi. Pukul setengah 6 pagi, pembukaan 5 terjadi.
Satu suster awasi si bunda. Satu suster lainnya menyiapkan ruang tindakan. Sekedar info, ruang tindakan dan ruang operasi caesar tak sama. Pontang panting suster menyiapkan ruang dan segala peralatan. Tak lebih 10 menit bunda digeser menuju ruang tindakan. Sembari menyiapkan gunting, benang, alas, dan lain-lain, si suster mencoba telfon dokter agar lebih lekas tiba di rumah sakit. Setelah telfon dokter, lanjut menelfon ruang administrasi bahwa pasien atas nama ririez tidak jadi operasi caesar.
Menjadilah. Nafas bunda tertegun, teriaknya menukik. Satu suster telaten terus mengawal nafas bunda. Antara hidup dan mati, bukanlah hanya cerita. Riwayat asma si bunda saat kecil, menyeruak memori saya saat menatap wajahnya.
Satu suster lainnya terus kawal dokter untuk tahu keberadaannya sudah sampai dimana. Pukul 06.00 wib pagi, dokter belum tiba. Pembukaan bunda sudah sampai ke delapan. Dzikir menguat, dekapan tangan saya pada bunda juga jarang lepas, kecuali saat saya menyiapkan botol minum dan sedotan untuk diminumkan kepadanya. Maklum, puasa sejak jam 11 malam kemarin menjadikannya kering kurang tenaga.
Tepat 06.30 wib dokter masuk ruangan. Ada dokter muda (asumsi saya dokter jaga) yang sepertinya sedang magang ikut mengawal sejak pukul 6 tadi. Tak sampai satu menit dokter duduk untuk memipin persalinan, kepala berambut muncul dari ruang dimana ia didekap. Allohu Akbar, bulu kuduk saya berdiri, dentaman jantung saya seakan berlari. Sempat tersangkut bahu si baby pada jalurnya, akhirnya si Bunda berhasil mengeluarkan makhluk kecil ciptaanNya pada hempasan ketiga. Catatan saya, 23 jam kami menunggu waktu di Rumah sakit.
Air mata saya menggantung dibawah mata, mata bunda lemas dengan penuh syukur. Tak lama saya kecup dalam jidatnya dan bibirnya yang menggigil (maaf kali ini tak di sensor). Sembari dokter mengurus dan mebersihkan si baby, saya dekap erat wajah bunda yang kali ini lebih berbinar.
Menit berikutnya berdiri saya. Mengawal si baby dibasuh oleh mbak suster. Saya kunyah setengah kurma. Teriakan kecil adzan saya dekatkan pada kupingnya yang mungil. Kunyahan kurma, saya oleskan gemetar pada dinding mulut si bayi kecil.
Segala puji hanya milikMu Ya Rabb. Kau ubah rencana manusia dalam hitungan menit, pun detik. Drama satu malam terjadi malam itu. Bahkan, dalam istilah saya, kami sebut keajaiban satu malam. Saat kami pasrah, ada inisiatif dari si bayi kecil untuk meronta keluar. Tentu, semua digerakkan oleh Sang Maha Kuasa.
Dalam ikhtiar sebagai hamba, saya senang menyebut keajaiban satu malam kemarin adalah kolaborasi apik antara si Bunda dan si Baby. Semangatnya bunda mengalir syahdu pada hati si Baby.
Pasrah. Satu kajian yang selalu menarik untuk didalami. Bagaimanapun, Tuhan menyukai hambaNya yang bersandar pada diriNya. Mengulang tulisan saya yang lalu, dalam istilah Islam hal tersebut biasa disebut dengan Lillahi Taala.
9 Agustus, Welcome Rafiq Abqary. Dalam beberapa referensi Rafiq mengartikan sebagai sahabat. Dan Abqary ialah cerdas/jenius. Sungguh, engkau sahabat Abi dan Bundamu yang cerdas malam kemarin dan malam sesudahnya. Aamiin
RS Grha Kedoya, Jakarta Barat
Komentar
Posting Komentar