Sesak tangis masih terngiang di kenangan. Saat pertama kali izin pamit kepada umi untuk kuliah di Lampung dulu. Gimana enggak, setelah 18 tahun bersama,, akhirnya saya dan umi terpisah. Saya yang memang anak umi sejak dulu. Makanya, pekikan tangis umi lepas saat saya beranjak pergi memisah jarak ribuan kilo (meski cuma 40 menit naik pesawat sih), hehhe.
Hari ini, saya menuliskan diatas langit merak dan Bakauheni. Jadi ingat sewaktu 2.372 hari yang lalu. Saat saya bergerak menuju Jakarta lepas sehari setelah wisuda. Sehari setelahnya, saya sematkan pengabdian kepada lembaga besar bernama Dompet Dhuafa. Masuk sebagai anak bawang tanpa pengalaman sebagai Management Trainee, bersama 2 rekan UI dan 1 rekan Undip.
Singkat cerita, terlalu banyak syahdu yang saya rasakan di lembaga ini. Jika boleh digores kulit ini, maka darah hijau yang tampak dan muncul. Hijaunya bukan yang lain, tapi hijau muda milik Dompet Dhuafa.
Saya bertemu keluarga disini, bukan rekan kerja. Saya belajar berjuang disini, bukan bekerja. Dan diantara kesederhanaan yang diberikan lembaga, tak satupun yang kurang dalam keseharian saya dan keluarga. Tak mungkin saya mampu injakan 4 negara secara gratis, kalaulah tak ada amanah bermakna dari lembaga ini.
Semuanya berjalan lembut dan penuh makna selama enam tahun. Bersyukur tanpa henti, pernah berilmu dengan tokoh-tokoh filantropi hebat. Sebut saja, 3 boss berurutan beda gaya. Kang Herdi yang detail dan menumbuh. Mas Putra yang profesional dan membangun. Mas Urip yang meminta tanpa menyuruh. Sebagai penyempurna, maka Allah menakdirkan saya bertemu mas Bambang di aktivitas Fundraising. Seorang guru yang mengkader, bukan memangkas.
Sosok lain, jika boleh saya sebut sebagai Bapaknya Fundraising, maka seluruh Indonesia tertuju pada Mas Arifin Purwakananta. Dalam diam, kadang banyak orang yang belajar darinya, tak luput dengan saya. Pemikiran2nya menyeruak nilai untuk mengedepankan kepentingan yang lemah dan tertindas. Tak ada niat lain dari seorang beliau. Hebat !!
Guru lain juga masih terekam dalam memori. Mas Yuli mendidik saya untuk menjaga jaringan, Mas Thoriq menasehati saya untuk terus berinovasi. Maka, sesungguhnya guru2 kehidupan itu semua lahir dari kapal besar ini. Tak lekang, puluhan guru Dompet Dhuafa lainnya pernah saya isap diam-diam ilmunya.
Dalam kapal besar ini pula, puluhan tokoh dan ulama sudah saya salami dan ciumi satu-satu. Lembaga ini pula yang mengenalkan belasan artis dan motivator kepada saya. Momentum terakhir, memimpin acara berdua dengan mbak Terry Putri pada Halal Bihalal & temu tokoh nasional mungkin jadi momen penutup. Sayang, situasi terakhir tidak berjodoh untuk bertemu saat acara Tabligh Akbar Imam Besar New York, Ust. Shamsi Ali di Masjid Raya Bekasi lalu. Kabarnya beliau mencari saya yang sedang diruang tunggu bersama Teh Peggy Melati Sukma, wah wah.. hihhi.
Dan, pada akhirnya...
Sambil sesak saya menuliskan ini. Saya Izin Pamit. Saya izin berpindah dari lembaga ini, tapi tidak memindahkan dengan gaya gerakan dan nilai-nilainya. Dua hal itu yang saya jadikan modal untuk melacur diri saya agar tetap manfaat dimanapun saya berwadah. Nilai-nilai mulia yang dimunculkan oleh seorang sosok Hebat; Mas Eri Sudewo. Jujur, Saya tak dekat, tapi harus mengaku bahwa warisan nilainya melekat.
Kenapa Pergi?
Suatu ketika saya ditanya sahabat, kenapa anda pergi dari sini. Sayapun sudah membuat daftar alasan agar menyudahi tugas disini. Tapi sayang, tak satupun alasan yang bisa saya tuliskan untuk mengisi daftar tersebut. Bahkan satu kata pun bagai seribu diam seakan tanpa sebab.
Kenapa pergi?
Saat saya dulu pamit kepada Umi untuk kuliah di Lampung, saya sampaikan insya Allah nanti kembali dengan Boy yang lebih baik, insya Allah. Bersyukur, saya kembali dengan seorang saya yang lebih berani bicara didepan. Meski belum teratur, minimal ndak seperti dulu yang pendiam dan penyendiri. Bersyukur, pemikiran saya mulai matang dan tertata. Ndak seperti dulu yang pikir pendek dan maunya saja. Semoga anda memaknai sama dengan apa yang saya pikirkan pada paragraf ini.
Serius Tak ada alasan yang lain?
Kalaupun ada, bukankah kek Jamil Azzaini mengajarkan kita untuk "Tidak meludah pada sumur yang kita minum airnya?"
Jika ada lorong di masa depan yang bisa saya lompati, tentu ingin saya menyudahi segala sesuatunya di lembaga hebat ini. Sekarang, Izinkan saya belajar ke wadah lain, agar menambah khasanah diri. Jika kau jodohku wahai Hijau, maka kita akan bersama nanti. Entah janji atau apa namanya ini.
Perjalanan Lampung - Jakarta
8 Februari 2017.
Saya belum kenal Anda Boy, meski bekerja Masih di bawah Jejaring DD.
BalasHapusSaya sebagai guru tahfizh di SMART EKSELENSIA INDONESIA :)
Senang membaca catatan Anda. Terima kasih
Salam Takzim Ustadz. mhn doa ane bisa jadi tahfizh seperti antum :)
HapusTerharu
BalasHapusTerimakasih tulisan nya mas boy
Akan dikenang bagaimana perjuangan
Itu dituang dalam sebuah pengalaman
Pernah kerja bareng sama da boy
Dirimu luar biasa
Terima kasih...
Hapus